Malam itu aku duduk di warung sate di bawah temaram sinar rembulan yang penuh (malam kue tiong cu sebutan ku) bersama suamiku tercinta. Kami berdua baru saja pulang dari gereja dengan perut lapar.
Pelayannya menghampiriku dan bertanya, ngunjukannya apa, Mbak? Aku celingukan bingung mau jawab apa. Aku menatap suamiku dengan tatapan minta bantuan. Andi sambil tersenyum memberi tau padaku kalau pelayannya menanyakan kita mau minum apa. Kemudian aku segera menjawab, “teh hangat aja.”
Itu adalah salah satu dari sekian kalinya aku kebingungan komunikasi dengan orang-orang daerah sini. Ya, sejak aku menikah, aku tinggal di kandangan, Jawa Timur. Tinggal di daerah yang memiliki banyak sekali perbedaan baik dalam makanan, dan yang paling terasa adalah perbedaan bahasa dengan daerah asalku, Donggala.
Kalau masalah makanan sih, aku dengan mudah dapat menyesuaikan karena aku termasuk bisa makan apa saja kecuali makanan basi dan jeroan hehe. Tapi kalau masalah bahasa, aku sering sekali bingung. Kalau cuman bahasa jawa suroboyoan, aku masih bisa dengar karena aku sempat tinggal di surabaya selama 4-5 tahun dan kemudian pindah ke Donggala selama 4 tahun, jadi itupun aku masih harus menyesuaikan diri lagi. Tapi ini, disini rasanya dituntut untuk “boso” yaitu bahasa jawa halus yang mendengarkannya saja aku baru kali ini.
Sudah beberapa patah kata diajar oleh suamiku, “setunggal itu satu, kaleh itu dua, tigo, sekawan, gangsal..selikur, slawe, seket, swidak….” Yap, at least aku harus tau itu karena aku jaga toko…
Sambil menghabiskan sepuluh tusuk sate yang nikmat ditemani nasi dan the hangat, pikirianku melayang ke beberapa tahun lalu, Pak Benny, Gembala Sidang Gereja MSI surabaya sedang khotbah tentang panggilan hidup dan tentang ladang misi. mendengarkan khotbah beliau seakan mengamini semua kerinduanku untuk pergi ke ladang misi, untuk penginjlan. Rasanya saat itu aku berseru-seru, “Tuhan, kapan aku bisa pergi misi?” saat itu aku sedang memikirkan Asia, populasi penduduk terpadat dunia dimana Kristus belum banyak diberitakan, dimana masih banyak orang yang hidup dalam kegelapan.
Tuhan mendengarkan aku, Pak Benny mendekat ditempat aku duduk dan tiba-tiba bernubuat, “Aku mendengarkan kerinduanmu, kerinduan itu Aku yang taruh dalam hatimu. Kau mungkin bertanya, bagaimana caranya, ya Tuhan aku bisa kesana? Percayalah, Aku yang akan membawamu kesana, ketempat dimana engkau tidak menggunakan bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris yang sedang kau tekuni, Aku akan membawamu dengan cara yang tidak kau ketahui.”
Aku menyendokkan bumbu sate terakhir ke dalam mulutku. Asia, penduduk yang padat, bahasa yang berbeda.. ah, siapa menyangka kalau Dia membawaku ke tempat ini menjadi ladang misi bagiku?
Dia membawaku melalui pernikahan dengan Andi. Dia melengkapi aku dengan keluarga. Aku tidak lagi sendiri tapi memiliki suami yang akan memberikan visi dan perlindungan bagiku. Dengan keluargaku ini, kami mendapatkan kesempatan untuk menjadi berkat bagi orang-orang disekeliling kami.
Aku mungkin lupa, tapi Dia tidak pernah lupa Nubuatan sedang digenapi dan aku bersemangat…
Pelayannya menghampiriku dan bertanya, ngunjukannya apa, Mbak? Aku celingukan bingung mau jawab apa. Aku menatap suamiku dengan tatapan minta bantuan. Andi sambil tersenyum memberi tau padaku kalau pelayannya menanyakan kita mau minum apa. Kemudian aku segera menjawab, “teh hangat aja.”
Itu adalah salah satu dari sekian kalinya aku kebingungan komunikasi dengan orang-orang daerah sini. Ya, sejak aku menikah, aku tinggal di kandangan, Jawa Timur. Tinggal di daerah yang memiliki banyak sekali perbedaan baik dalam makanan, dan yang paling terasa adalah perbedaan bahasa dengan daerah asalku, Donggala.
Kalau masalah makanan sih, aku dengan mudah dapat menyesuaikan karena aku termasuk bisa makan apa saja kecuali makanan basi dan jeroan hehe. Tapi kalau masalah bahasa, aku sering sekali bingung. Kalau cuman bahasa jawa suroboyoan, aku masih bisa dengar karena aku sempat tinggal di surabaya selama 4-5 tahun dan kemudian pindah ke Donggala selama 4 tahun, jadi itupun aku masih harus menyesuaikan diri lagi. Tapi ini, disini rasanya dituntut untuk “boso” yaitu bahasa jawa halus yang mendengarkannya saja aku baru kali ini.
Sudah beberapa patah kata diajar oleh suamiku, “setunggal itu satu, kaleh itu dua, tigo, sekawan, gangsal..selikur, slawe, seket, swidak….” Yap, at least aku harus tau itu karena aku jaga toko…
Sambil menghabiskan sepuluh tusuk sate yang nikmat ditemani nasi dan the hangat, pikirianku melayang ke beberapa tahun lalu, Pak Benny, Gembala Sidang Gereja MSI surabaya sedang khotbah tentang panggilan hidup dan tentang ladang misi. mendengarkan khotbah beliau seakan mengamini semua kerinduanku untuk pergi ke ladang misi, untuk penginjlan. Rasanya saat itu aku berseru-seru, “Tuhan, kapan aku bisa pergi misi?” saat itu aku sedang memikirkan Asia, populasi penduduk terpadat dunia dimana Kristus belum banyak diberitakan, dimana masih banyak orang yang hidup dalam kegelapan.
Tuhan mendengarkan aku, Pak Benny mendekat ditempat aku duduk dan tiba-tiba bernubuat, “Aku mendengarkan kerinduanmu, kerinduan itu Aku yang taruh dalam hatimu. Kau mungkin bertanya, bagaimana caranya, ya Tuhan aku bisa kesana? Percayalah, Aku yang akan membawamu kesana, ketempat dimana engkau tidak menggunakan bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris yang sedang kau tekuni, Aku akan membawamu dengan cara yang tidak kau ketahui.”
Aku menyendokkan bumbu sate terakhir ke dalam mulutku. Asia, penduduk yang padat, bahasa yang berbeda.. ah, siapa menyangka kalau Dia membawaku ke tempat ini menjadi ladang misi bagiku?
Dia membawaku melalui pernikahan dengan Andi. Dia melengkapi aku dengan keluarga. Aku tidak lagi sendiri tapi memiliki suami yang akan memberikan visi dan perlindungan bagiku. Dengan keluargaku ini, kami mendapatkan kesempatan untuk menjadi berkat bagi orang-orang disekeliling kami.
Aku mungkin lupa, tapi Dia tidak pernah lupa Nubuatan sedang digenapi dan aku bersemangat…