10 May 2007

Memulihkan kepercayaan

Di rumah saya ada seorang pembantu yang stay di rumah. Pembantu ini diizinkan pulang setiap hari sabtu dan kembali lagi hari minggunya. Akan tetapi, si pembantu ini sering sekali tidak masuk kerja pada hari minggu dan masuk kembali pada hari senin, itu pun datangnya terlambat. Bukan hanya itu, terkadang, pada hari lainpun kalau dia ingin pulang, dia akan minta izin pulang dan berjanji akan datang keesokan harinya. Seperti biasanya, dia ingkar janji lagi dan kembali keesokan harinya lagi dari hari yang sudah dijanjikan. Singkatnya, kami kepercayaan kami kepadanya akan kepastian janji yang diberikannya semakin menipis, sehingga suatu hari mama marah padanya.
Kemarahan mama mulai membuahkan ketakutan bagi dia, takut kalau-kalau dia akan dipecat. Malam setelah mama marah, dia minta izin pulang lagi dan berjanji akan datang besok pagi. Kami saling memandang dan akhirnya mama mengizinkan dia pulang, tidak berharap besok pagi dia akan kembali bekerja apalagi datang tepat waktu. Pertama-tama kami pikir mungkin dia takut setelah dimarahi dan juga kami pikir kalau dia mau berhenti bekerja, kami tidak akan menahan dia lagi karena kepercayaan kami kepadanya sudah berkurang.
Akan tetapi, keesokan harinya, pagi-pagi jam 6.30 pembantu ini datang dan masuk kerja. Ini membuat kami kaget juga. Dia datang dan kerja seperti biasa. Pertama-tama, dia datang pagi sekali, lebih awal dari jam kerja biasanya. Kedua, dia masuk kerja tepat seperti yang dijanjikannya. Saya tau, mama saya senang, dan keputusan awal untuk memberhentikan dia dari kerjaan ditunda. Kepercayaan kepadanya mulai pulih kembali, walau belum bisa saya katakan pulih seratus persen saat itu juga.
Kejadian ini mengingatkan saya akan salah satu prinsip dalam buku seven habitsnya Covey tentang Bank Emotional. Dalam kata-kata saya sendiri, Bank Kepercayaan. Setiap orang memiliki bank kepercayaan kepada orang lain disekelilingnya. Ketika dia melanggar kepercayaannya, dia mengambil tabungannya. ketika dia melakukan tindakan yang dapat dipercaya, tabungannya bertambah.
Orang yang tabungannya hampir habis adalah orang yang sering sekali melanggar kepercayaan yang diberikan kepadanya, dan orang yang bisa dipercaya/diandalkan adalah orang yang sering mengisi tabungan kepercayaannya itu.
Orang yang dapat dipercaya ini bisa dikatakan tidak punya masalah, bahkan ini menjadi modal bagi seseorang untuk berhasil dalam hidupnya.
Sebaliknya dengan orang yang tabungannya hampir habis, atau bahkan tak punya tabungan lagi sama sekali, hampir pasti dia memiliki masalah dalam lingkungannya. Apakah masih ada harapan bagi dia?
Seperti cerita saya diatas tentang pembantu saya tadi, kepercayaan bisa kembali dengan cara menabungnya kembali. Bagaimana cara menabungnya kembali? Dengan memulihkan kembali kepercayaan dibidang yang telah dilanggar, misalnya dalam hal pemenuhan janji. Kalau dulu sering melanggar janji, pulihkan dengan cara menepati janji. Tepati janji bukan hanya satu atau dua kali, tepati setiap janji yang sudah diberikan sehingga tidak ada ruang lagi buat keraguan akan adanya kemungkiran janji lagi. Bila perlu lakukan lebih dari yang diminta. Contohnya seperti pembantu saya tadi, dia bukan hanya memenuhi janji dengan datang keesokan harinya, tapi juga datang sebelum waktu kerja.
Saya berharap pembantu saya ini terus menjaga kepercayaan yang mulai diberikan kembali kepadanya dengan terus menepati janjinya 

2 comments:

Andi Yuliarto said...

Yup... Begitulah kepercayaan. Seperti halnya seorang karyawan dimata atasannya. Bagaimana ia menabung kepercayaan dihati atasannya. Menabung sampai satu saat ia bisa menjadi orang kepercayaan atasannya, bahkan bosnya. Kepercayaan ini tidak bisa dibangun instan, mesti bertahap, sampai akhirnya terbangun sebuah kepercayaan yang solid. :)

Fanny Ang said...

iya stuju, membangun kepercayaan juga suatu proses. Ditabung hari demi hari.